
Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan mengatakan hingga kini harga telur masih melonjak.
Harga telur di Indonesia bagian Timur bahkan nyaris mencapai Rp 40 ribu per kilogram.
“Di pasar wilayah Indonesia Timur mencapai Rp 40 ribu per kilogram.
Kemudian karena telur ini menjadi pokok, sehingga untuk subtitusi atau penggantinya jarang,” tuturnya kepada Tempo, Ahad, 28 Agustus 2022.
Menyitir Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata telur hari ini, Ahad, 28 Agustus 2022 di Papua adalah Rp 39.700 per kilogram.
Sedangkan di Papua Barat, harga telur mencapai Rp 35.500 per kilogram.
Harga telur melonjak sejak sekitar tiga pekan lalu dari harga semula berkisar Rp 20 ribu per kilogram.
Reynaldi mengatakan pedagang pasar kini mulai mengurangi stok untuk meminimalisir kerugian.
“Yang awalnya bisa puluhan rak, sekarang hanya beberapa saja lantaran harganya sudah tinggi ngambil barangnya,” ujarnya.
Hal itu disebabkan para konsumen yang berbelanja ke pasar kini mulai mengurangi besaran belanjanya.
Rata-rata, kata dia, konsumen rumah tangga yang sebelumnya membeli telur satu kilogram, kini hanya setengah atau seperempat kilogram.
Hal yang sama terjadi pada konsumen yang merupakan pedagang makanan kaki lima berbahan dasar telur.
Reynaldi menuturkan setiap hari permintaan telur dari pedagang kaki lima, misalnya dari pedagang martabak.
Tetapi, karena harga yang melonjak, pedagang itu pun kesulitan dan mengurangi jumlah belanjanya.
Sebelumnya Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi mengaku telah bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), dan lembaga terkait untuk melakukan operasi pasar apabila harga telur tidak kunjung turun hingga di bawah Rp30 ribu per kilogram dalam beberapa hari kedepan.
“Kami terus berkoordinasi intensif dengan Kemendag, Kementan dan Satgas Pangan, hari ini sudah bertemu Dirjen PKH Kementan sepakat akan melakukan langkah-langkah stabilisasi diantaranya Operasi Pasar,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Kamis, 25 Agustus 2022.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai langkah pengendalian harga lewat operasi pasar hanya akan meredam kenaikan secara temporer.
Seharusnya, menurut Bhima permasalahan harga telur ini perlu dirunut dari seluruh rantai pasok.
Mulai dari harga pakan ternak, jumlah populasi ayam petelur, hingga kelancaran distribusi.
“Kalau operasi pasar pada waktu sidak ya harga turun, tapi setelah operasi pasar selesai harga bisa naik lagi,” tuturnya kepada Tempo, Jumat, 26 Agustus 2022.
Bhima menuturkan butuh solusi dalam menyeimbangkan permintaan dan pasokan telur secara jangka panjang.
Jika peternak ayam petelur kurang, kata dia, maka perlu dibantu dengan anggaran khusus permodalan misalnya dibanding hanya tebar operasi pasar.
Ia berpendapat ketika harga telur tak terkendali atau melonjak, garis kemiskinan akan naik lebih cepat dan membuat kategori orang miskin baru semakin meningkat.
Karena, kemungkinan besar kekhawatiran soal harga telur lebih berkaitan dengan risiko bahan pangan penyumbang garis kemiskinan yang kontribusinya masuk 5 besar.
“Sumbangan telur ayam dalam garis kemiskinan bahkan mencapai 4,12 persen di perkotaan.
Lebih tinggi dari mie instan dan bawang merah,” ucapnya.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga telur berada di urutan keempat komoditas penyumbang garis kemiskinan, yakni sebesar 4,12 persen.
Posisi telur di bawah komoditas daging ayam ras yang menyumbang angka 4,63 persen, rokok kretek filter 12,21 persen, dan beras 19,38 persen.
RIANI SANUSI PUTRI Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini